Minggu, 06 Maret 2011

" sejarah Bugis "



SUKU BUGIS, DARI SULSEL SAMPAI TANAH MELAYU
Orang Bugis, dikenal dengan sebutan To Ugi, tidak saja mendiami hampir seluruh kawasan di Sulawesi Selatan. Tapi juga menyebar di seluruh wilayah Sulawesi, mulai dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Tenggara. Menurut Wikipedia, selain di pulau Sulawesi, orang Bugis juga menyebar di Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatera, hingga Ambon, Kepulauan Maluku Utara, sampai ke Papua. Kantong kantong orang Bugis di Papua terdapat di Timika, Sorong dan Jayapura.
Di luar Sulawesi Selatan, Orang Bugis ditemukan paling banyak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Di Indonesia sendiri menurut sensus tahun 2000, jumlah orang Bugis sekitar 5 juta jiwa, 4 juta diantaranya berdiam di Sulawesi Selatan. Saat ini, orang Bugis di Indonesia diperkirakan berjumlah 7,5 Juta Jiwa. Di luar angka itu, (masih menurut wikipedia) diperkirakan ada sekitar 4 juta masyarakat Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Bugis.
Di luar Indonesia, orang Bugis yang sudah berbaur dengan masyarakat setempat, banyak ditemui di Malaysia. Tahun 2000 (menurut Wikipedia) Orang Bugis di Malaysia yang sudah menjadi bagian dari warga negara Malaysia ada sekitar 780.000 Jiwa. Saat ini diperkirakan orang Melayu keturunan Bugis mencapai 1 juta Jiwa. Mereka tersebar di Johor, Selangor, dan daerah semenanjung Malaysia lainnya, hingga ke wilayah Sabah dan terbanyak di Tawau.
Suku bugis dikenal sebagai perantau ulung. Ini tidak bisa dipisahkan dari keinginan orang Bugis untuk hidup merdeka. Masyarakat Bugis mulai meninggalkan tanah nenek moyangnya, sejak terjadinya pertikaian etnik antara Kerajaan Bugis dan Makassar pada Abad ke 16 & 17, hingga saat Belanda masuk ke Indonesia di Abad ke 17 dan 18.
Mereka tidak hanya merantau tapi, orang bugis yang juga dikenal sebagai pejuang yang gagah berani menyebar ke seluruh pelosok Indonesia membantu mengusir penjajah. Raja Madura, Buton dan Lombok pernah meminta bantuan bala tentara Bugis ke Kekerajaan Bugis untuk mengusir penjajah dari tanah mereka.
Orang Bugis yang juga dikenal sebagai pelaut ulung, hingga saat ini tidak hanya menyebar di Indonesia, Malaysia dan Singapura tapi juga sampai ke Thailand, Philipina, Australia Utara hingga ke Madagaskar dan Afrika Selatan.
Umumnya warga Bugis mudah sekali beradaptasi dengan daerah yang mereka tinggali. Hal itu tidak terlepas dari falsafah hidup mereka ‘Dimana Langit Dijunjung, Disitu Bumi Dipijak’. Artinya, bahwa orang Bugis bisa menyesuaikan diri dimana pun mereka berada. Tidak heran, Orang Bugis di Malaysia, akan menjadi orang Melayu, begitu juga di Singapura dan Brunai.
Sejarah Singapura sendiri tidak bisa dilepaskan dari Orang Bugis. Menurur Wikipedia yang mengambil beberapa literatur, orang Bugis termasuk penduduk pertama yang mendiami Singapura, Batam dan pulau pulau di sekitarnya, termasuk Johor di semenanjung Malaysia. Itulah sebabnya, Orang Melayu baik di Kepulauan Riau, Jambi, Malaysia, Singapura dan Brunei, memiliki kekerabatan yang erat dengan Orang Bugis. Kampung Bugis yang kini terkenal dengan Bugis Village dan Bugis Junction adalah bukti adanya ikatan kekerabatan dan sejarah itu.
Bukti lain adanya ikatan emosional orang Bugis dan Orang Melayu Malaysia, yakni adanya kaitan sejarah antara kedua etnik ini. Seperti yang ditulis dalam petikan Wikipedia berbahasa Melayu berikut :
“Bugis memainkan peranan yang penting dalam sejarah di Tanah Melayu. Mereka terlibat secara langsung atau tidak langsung di dalam politik dan perbalahan negeri-negeri Melayu ketika itu, terutama sekali negeri Johor. Ianya bermula apabila Daeng Loklok ingin memerintah Johor tetapi tidak dipersetujui oleh pemerintah negeri Johor Riau Lingga ketika itu, iaitu Raja Kechil. Ini menyebabkan Daeng Loklok atau Bendahara Husain meminta bantuan Raja-Raja Bugis untuk menumpaskan Raja Kechil. Bermula dari sinilah campur tangan Bugis di Tanah Melayu. Malah, anak Daeng Chelak, Raja Lumu, dinobatkan sebagai Sultan Selangor pertama.”
Di Indonesia orang Bugis, banyak bergelut di dunia politik, hukum, tatanegara, dan perdagangan. Mantan Presiden RI, BJ Habibie adalah peranakan Bugis-Gorontalo, Wakil Presiden RI saat ini, Jusuf Kalla dan juru bicara Kepresidenan, Andi Alfian Mallarangeng, juga Orang Bugis. Orang Bugis juga banyak bekerja sebagai Jaksa dan Hakim. Namun, tidak banyak orang Bugis yang menjadi Pengacara, konon karena orang Bugis terkenal dengan sifatnya yang tidak suka berdebat kusir.
Seperti halnya di Indonesia, orang Bugis di Malaysia juga banyak bergelut di dunia politik. Sebut saja Timbalan Perdana Menteri Malaysia(Wakil Perdana Menteri sekarang) Dato Seri Muhammad Najib Tun Razak adalah orang Bugis. Di parlemen Malaysia juga tercatat banyak Orang Melayu keturunan Bugis. Sultan Kerajaan Selangor pertama juga adalah Orang Bugis, yang secara turun temurun sudah menjadi bagian orang Melayu. Di Batam sendiri, Walikota yang memimpin Pulau Itu sekarang, Drs. Ahmad Dahlan, juga seorang perantau Bugis.
Saat ini, Orang Bugis menggunakan tiga bahasa utama di Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura. Khusus di Indonesia mereka menggunakan bahasa Indonesia dan Bugis. Sedangkan di Malaysia, Brunei dan Singapura mereka menggunakan Bahasa Melayu dan Bugis. Di Philipina mereka memakai bahasa Tagalog.
Di luar Indonesia, Orang Bugis, sebagian besar tidak lagi menggunakan Bahasa Bugis sebagai bahasa sehari hari. Hanya segelintir orang bugis yang masih memakai bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar dalam keluarga. Umumnya mereka adalah orang Bugis yang bermukim di wilayah Sabah dan Tawau.
Masyarakat Bugis mempunyai tradisi untuk menjaga keutuhan kesukuannya. Biasanya Orang Bugis lebih suka menikah sesamanya orang Bugis, bahkan biasanya mereka memilih menikah dengan kerabat terdekat. Salah satu tujuannya, agar ikatan kekeluargaan yang memang sudah sangat rapat, akan semakin dekat. Tradisi pernikahan seperti ini, berlaku hampir di semua masyarakat Bugis di mana pun. Namun, Orang Bugis, tidak menutup kemungkinan adanya pernikahan dengan suku suku lain.***

JUMLAH POPULASI SUKU BUGIS
  kurang lebih 4 juta.

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Sulawesi Selatan:
Bahasa  bahasa Bugis, bahasa Indonesia, bahasa Melayu, dan lain-lain.
Agama   Islam.
Kelompok etnis terdekat   suku Toraja, suku Mandar, suku Makassar.


Sejarah awal Bugis

Tidak seperti bahagian Asia Tenggara yang lain, Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-satunya pengaruh India yang jelas ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi, dimana ia dibawa melalui perdagangan. Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komuniti awal ketika itu kuat menentang asimilasi budaya luar.

Perubahan Dari Zaman Logam

Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20.




Teknik Dan Perbezaan Ekonomi

Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan alatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Syurga/Langit. Walaubgaimanapun, sesetengah mengatakan 'Panre Baka' berasal dari Toraja.
Satu lagi inovasi yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan antara abad ke 13 dan abad ke 16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeza dengan Bahasa Melayu, malahan ia diambil dari Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.
Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah terang-terangan diimport kerana penyuburan sawah (plough) di dalam Bahasa Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala. Teknik 'rakalla' ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara, manakala sebahagian lagi daripada Asia Tenggara diambil dari China. Ini sekaligus membuktikan wujudnya perhubungan diantara Sulawesi Selatan dengan bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.
Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubung kait dengan pertambahan penduduk di tangah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi majoriti populasi Bugis ialah penanaman padi manakala golongan elit mengawal sumber-sumber asli dari hutan, perlombongan dan sumber-sumber dari laut. Sumber-sumber asli ini mendapat permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan golongan elit memperdagangkan sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli barang-barang mewah dari luar seperti seramik China, Sutera India, cermin etc. Walaubagaimanapun, pengawalan pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan penting ketika itu.

Perubahan Sosio-Politik

Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis iaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pentadbiran ataupun pertukaran dinasti. Kuasa-kuasa kecil muncul di penempatan-penempatan baru ( 'wanua' ) dan diperintah oleh seorang ketua digelar 'matoa' atau 'arung'. Sesetengah penempatan awal ini (tidak disebut didalam La Galigo) seperti Bone, Wajo dan Goa kemudiannya menjadi kerajaan-kerajaan utama.
Walaubagaimnapun, sesetengah kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam rekod sejarah, dan ini menyebabkan sesetengah sejarahwan percaya bahawa kerajaan-kerajaan ini tidak wujud sama sekali.
Kontranya, terdapat perubahan didalam sosio-politik yang nyata di permulaan teks sejarah iaitu wujudnya satu perhubungan kontrak di antara pemerintah dan pa'banua (rakyat negeri tersebut yang merupakan orang kebanyakkan.) Di dalam masyarakat awal, keselamatan dan sumber pendapatan penduduk (seperti mendirikan rumah, memberi kerja dan membekalkan keperluan tertentu) merupakan tanggungjawab pemerintah. Situasi ini berbeza sekali seperti di dalam teks La Galigo di mana pemerintah tidak perlu membekalkan apa-apa kepada penduduk.

Perubahan Agama

Kesinambungan dari zaman logam diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting di simpan di dalam tempat penyimpanan debu (bersaiz seperti labu) manakala tempat pembakaran mayat disebut Patunuang. Walaubagaimanapun, pembakaran mayat terhad kepada tempat-tempat tertentu. Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja pula membiarkan mayat reput di gua-gua.
Pemerintah-pemerintah awal pula tidak ditanam mahupun dibakar dan mereka dikatakan 'hilang', bermaksud kembali ke syurga. Menurut sumber, mayat-mayat pemerintah awal dibiarkan bersandar di pokok reput sehingga tinggal tulang. Mayat bayi pula di tenggelamkan di sungai ataupun laut.

Kerajaan-Kerajaan Awal Bugis

Di akhir abad ke 15, Luwu', yang dianggap sebagai ketua bagi komuniti Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang persisiran pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng. Walaubagaimanapun, kerajaan ini mula menghadapi tentangan dari kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.



Situasi Politik Di Akhir Abad ke 15

 

Pada awal abad ke 15, Luwu' menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar. Penempatan Luwu' pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu' cuba mengekalkan pengaruhnya di bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah barat, mineral dari pergunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai Welennae. Walaubagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto', Alitta, Suppa', Bacukiki' dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk satu konfederasi dinamakan ' Aja'tappareng ' (tanah disebelah barat tasik) sekaligus menyebabkan Luwuk hilang pengaruh di atas kawasan ini.
Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan Luwu'. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo' sedang membangun dan mula menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo' pula di gelar 'Arung Matoa' bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini membuat perjanjian dengan Wajo', dan sekaligus meletakkan Luwu' dibawah pengaruh Wajo'. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo' melantik Arung Matoa Puang ri Ma'galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya menjadikan Wajo' sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.
Di sebelah selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah kuasa buruh dan kuasa tentera.
Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula terperangkap di antara Sidenreng, Wajo' dan Bone manakala penempatan di tanah tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu' dan pada masa yang sama ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.





Kejatuhan Luwuk

Tempoh antara 1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu' mula merosot. Ketika itu, Luwu' diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma'galatung pada tahun 1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana kepada Wajo' sebagai pertukaran Wajo' hendaklah membantu Luwu' menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang terpaksa menyerahkan kepada Wajo' kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.
Pada tahun 1509, Luwu' menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk mengalami kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak 'menyentuh' ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu' yang menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri ketuanan Luwu' di negeri-negeri Bugis. Walaubagaimanapun, ketuanan Luwu' masih disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo' menyerang Luwu' dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwu'. Ini membolehkan Wajo' menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategik.


Kemunculan Makassar

Pada masa yang sama, berlakunya peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kuasa utama di persisiran barat Makassar dan Bantaeng (ketika itu dibawah penagruh Luwu') di sebelah selatan manakala terdapat dua penempatan Makassar iaitu Goa dan Tallo' yang mula membangun dan meluaskan pengaruh mereka.
Mengikut sumber yang diragui kesahihannya, Goa dan Tallo' pada mulanya adalah satu negeri. Pada sekitar abad ke 15, Raja Tunatangka'lopi membahagikan kawasan itu kepada dua orang puteranya menjadi Goa dan Tallo'. Terdapat juga kisah yang lain di mana dibawah Raja Daeng Matanre' (1510-1547), suatu pejanjian telah dibuat. Mengikut perjanjian tersebut, Goa dan Tallo' akan menjadi kerajaan kembar, di mana terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Sesiapa yang cuba menentang perjanjian ini akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck('History Archeology':117) berlaku selepas 1535. Peta Sulawesi yang dilukis Portugis pertama kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Goa, dan hanya memeta 'Siom"(Siang), 'Tello'(Tallo') dan 'Agacim'(Garassi'). Mengikut penulisan Antonio de Paiva, Goa, (di mana didalam penulisannya merujuk kepada Bandar Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis, sebelumnya dianggap di bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo' yang dibawah pengaruh Siang dan kemudiannya dibawah pengaruh Goa. Goa kemudiannya menguasai Garassi', sebuah pelabuhan yang menghubungkan Jawa, sekaligus membolehkan Goa mengawal perdagangan laut.
Permualaan sejarah Goa dan Tallo' berlaku di akhir abad ke 15, tetapi laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas. Polisi perluasan kuasa mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng Matenre, Goa, dan berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah yang dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo', kawasan-kawasan di bawah pengaruh Bantaeng dan Gantarang.
Kejayaan kerajaan kembar ini, lebih dikenali dikalangan pedagang asing sebagai sebuah 'negara' digelar Makassar. Ia boleh dikatakan satu gabungan yang bijak di mana pemerintah Goa meneruskan penguasaan wilayah manakala pemerintah Tallo', yang mendapati potensi Makassar sebagai pelabuhan yang berjaya, menumpukan bahagian perdagangan. Ini kemudiannya menjadikan Makassar salah satu kuasa yang kuat di Sulawesi Selatan.
Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas tindakan Wajo' yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo' terpaksa menukar ikrar setia dari Luwuk kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwuk tanpa kuasa. : muh. said marsuky

Dunia Bugis Pada Abad Ke 16

 Komoditi Dan Perdagangan

Ekspot utama dari Sulawesi Selatan ketika itu ialah padi dan diekspot ke Melaka yang ketika sudah pun ditawan Portugal. Pada tahun 1607, Sultan Johor yang bermusuh dengan Portugis cuba menyekat eksport ini. Produk-produk pertanian lain adalah kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Ternakan tempatan pula adalah kerbau, khinzir, kambing, ayam dan itik. Akan tetapi lembu masih belum dikenali ramai dimana pada masa yang sama kuda sudah pun menjadi ternakan umum. Sumber-sumber asli pula yang dibawa dari kawasan sekitar (yang kemudiannya di ekspot) ialah kayu cendana (dari Kaili dan Palu),katu sapan (dari Sumba), kayu aguila, resin, gewang dan telon (Pelras, 'Temoignages etrangers').
Tekstil yang dibuat di Sulawesi Selatan cukup popular pada abad ke 19, dimana pada tahun 1544, kain putih , kemungkinan kain koton, dijual pada harga 200 rial. Menariknya, ini membuktikan bahawa Sulawesi Selatan sudah pun memasuki sistem wang antarabangsa dan matawang Portugis, real menjadi salah satu matawang utama. Tetapi sistem penukaran wang sebelum ini tidak jelas. Manakala sebelum sistem wang digunakan, kerbau mungkin dijadikan petunjuk utama.
Terdapat juga komoditi ekspot baru iaitu hamba. Kebanyakkan hamba adalah tawanan perang yang bermaksud sesiapa sahaja termasuklah kanak-kanak dan wanita dari tempat dimana ia ditawan oleh Bugis. Harga seorang hamba boleh mencecah 1000 rial yang ketika itu merupakan suatu tawaran yang cukup menarik bagi Portugis. Perdagangan hamba mula mendapat tempat bermula pada abad 15 dan ia disebabkan oleh permintaan dari luar.
Antara ekspot lain yang menarik perhatian Portugis ialah emas. Emas berasal dari pergunungan Toraja dan dari Luwu' manakala emas dari Sulawesi Utara pula dikawal oleh Makassar. Mineral-mineral lain yang diekspot ialah besi (dari Luwu' dan Banggai), kuprum dan plumbum.

Pandu arah, Kapal Dan Peperangan

Walaupun pada abad ke 16, penduduk-penduduk di Sulawesi Selatan sudah pun maju dalam bidang pelayaran, kebanyakkan ekspot mereka dibawa oleh kapal-kapal Melayu dan Jawa. Jurupandu arah Bugis dan Makassar ketika itu masih belum dianggap maju oleh pedagang-pedegang asing. Pada abad ke 16 pula, kapal-kapal dari Sulawesi Selatan mula berlayar ke bahagian timur dan juga ke bahagian barat Kepulauan Melayu. Faktor utama ialah Sulawesi Selatan terletak ditengah-tengah jalan laut antara Melaka dan Maluku. Bugis dan Makassar kemudiannya mula memajukan kemahiran pelayaran mereka, membina kapal-kapal besar dan membuat usaha sama dengan pedagang -pedagang Melayu. Walaubagaimanapun, perhubungan darat yang terhad menyebabkan kayu-kayu balak dibawa menggunakan pengangkutan air.
Antara senjata api yang mula digunakan pada waktu itu ialah senapang lantak dan meriam. Kebanyakkan senjata api ini dibuat di Brunei. Bagi perlindungan baju zirah dan perisai dada turut digunakan ketika peperangan. Akan tetapi, kesemua senjata baru ini tidak menggantikan senjata-senjata lama seperti perisai tradisional, keris, sumpit dan pedang pendek.

Aspek-Aspek Alatan Kebudayaan Lain

Kehidupan Bugis seperti yang digambarkan dalam La Galigo adalah sebuah komuniti yang bersifat terbuka kepada pengaruh-pengaruh luar, dimana barang-barang impot bukan sahaja dimiliki oleh golongan atasan tetapi turut dimiliki oleh orang kebanyakkan.Pada abad ke 16 bentuk dan pembinaan perumahan bagaimanapun kekal dan tidak berubah. Bagi rumah golongan atasan, perabot-perabot barat mula digunakan manakala tingkap-tingkap tradisional digantikan dengan tingkap-tingkap bercirikan barat. Kebanyakkan nama-nama bagi inovasi ini diambil dari sebutan Portugis seperti kadera (kerusi) dari cadeira dan mejang (meja) dari mesa.
Kesan-kesan lain ialah perubahan dalam makanan ruji. Keledek dan tembakau mula diperkenalkan oleh Portugis dan Sepanyol. Antara bahan-bahan yang baru ialah candu yang digunakan dalam peperangan dan menjadi satu ketagihan bagi golongan atasan.
Inovasi juga turut dilihat dalam pakaian. Wanita Bugis mula memakai sejenis seluar begi manakala hamba wanita pula masih kekal dengan pakaian kemban. Pakaian barat pula mula mendapat tempat dikalangan komuniti Bugis ketika itu seperti baju kemeja, topi dan jaket.

Pengislaman Bugis

Pada tahun 1511, kejatuhan Melaka ke tangan Portugal turut membawa kedatangan kristian ke Kepulauan Melayu. Pada tahun 1611 pula, kerajaan Bone memeluk Islam dan juga merupakan kerajaan terakhir memeluk Islam.
Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 menyebabkan kesultanan Melaka beralih kepada Johor. Peristiwa ini memberi tempias kepada Sulawesi Selatan. Menurut Tome Pires (Pires, Suma Oriental) disebalik jumlahnya yang kecil, kebanyakkan orang Makassar datang berdagang di Melaka. Perubahan senario politik di bahagian barat Kepulauan Melayu turut diketahui oleh penduduk Sulawesi Selatan, dan mereka kemudiannya mula memahami budaya, agama, polisi perdagangan dan kekuatan tentera pendatang asing ini.
Portugis mengambil masa yang lama untuk menukar perhatian mereka kepada Sulawesi. Mengikut peta awal Portugis, Sulawesi Selatan dinamakan Makassar dan diutaranya dinamakan Celebes dan antaranya adalah kosong. Keutamaan mereka ketika itu ialah perdagangan rempah dari Maluku dan ini menarik perhatian mereka ke kepulauan Sunda. Pada tahun 1533, Portugis mendapat tahu bahawa terdapat emas di Sulawesi dan dengan itu Gabenor Ternate mengarahkan satu ekspedisi ke Sulawesi.

Terbantutnya Kristianisasi

Pada tahun 1540, dua orang bangsawan dari Makassar melawat Ternate dan dikristiankan. Tahun berikutnya, mereka kembali semula ke Ternate dengan membawa emas, Cendana dan senjata besi bagi menunjukkan betapa berharganya Sulawesi. Pada tahun 1544, Antonio de Paiva berdagang di Suppa' dan Siang dan beliau diminta untuk mengkristiankan kedua-dua raja negeri-negeri itu. Manakala bagi pihak kedua-dua raja itu, kristianisasi merupakan satu peluang untuk mendapat bantuan ketenteraan dari pihak Portugis.
Menjawab permintaan pemerintah-pemerintah Sulawesi Selatan, seorang mubaligh kristian bernama Francis Xavier belayar ke Sulawesi untuk tujuan kristianisasi. Ketika itu, kebanyakkan pemerintah Sulawesi Selatan menyambut baik ekspedisi ini dengan harapan untuk mendapat bantuan ketenteraan dari Portugis. Walaubagaimanapun, usaha Portugis ini terbantut kerana seorang daripada pegawai Portugis berkahwin dengan gadis tempatan dan bagi mengelakkan pertumpahan darah, mereka terpaksa berlayar pulang.
Tetapi, salah seorang rombongan itu, Manuel Pinto tidak berlayar bersama. Beliau menjelajah ke seluruh Sulawesi Selatan untuk meninjau keadaan di sana ketika itu. Sebaik sahaja pulang ke Melaka, beliau melaporkan terdapatnya peperangan sesama sendiri di antara negeri-negeri Bugis. Ini menyebabkan terbantutnya usaha kristianisasi oleh Francis Xavier.
Pada tahun 1559, selepas kembali semula hubungan perdagangan dengan Melaka, pemerintah-pemerintah Sulawesi Selatan meminta agar Portugis menghantar seorang mubaligh untuk tujuan kritianisasi. Akan tetapi, tidak banyak paderi tinggal di Melaka dan ketika itu, Makassar bukanlah keutamaan mereka. Maka permintaan raja-raja Bugis tidak dapat ditunaikan.
MASUKNYA ISLAM Konsep dasar Islam adalah ketauhidan dan kenabian serta kebangkitan. Kepercayaan bugis-makassar pra-islam menunjukkan adanya kepercayaan pada Tuhan yang satu (tauhid) dan kebangkitan. Islamisasi berarti menebarkan konsep kenabian dan merevisi mitos yang ada. konsekwensinya adalah dilaksanakannya syariat sebagai pengganti beberapa kebiasaan manusia bugis makassar yang tidak relevan. Telah ada beberapa penganjur Islam selain tiga dato' dari minang, termasuk Sayyid Jamaluddin al-husayni al akbari yang merupakan kakek dari walisongo. ini berarti Islam datang bukan pada kedatangan para dato' (dato ribandang, dato ritiro dan dato patimang). tetapi ISlamnya kerajaan-kerajaan bugis makassar pada tahun 1598(gowa dan luwu) menyusul ajatappareng (sidenreng,rappang, sawitto) pada tahun 1605, soppeng (1607), wajo (1609), dan bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para dato. dato ribandang mengislamkan karaeng matoaya yang merupakan mangkubumi kerajaan makassar. dato patimang(dato sulaiman) mengislamkan daeng parabbung datu luwu. dan dato ri tiro memilih berdomisili dibulukumba yang merupakan daerah perbatasan bone dan gowa untuk syiar islam. islamnya gowa adalah simbolitas kekuatan militer dan luwu adalah pusat mitos bugis makassar. dengan islamnya dua kerajaan besar ini maka tidak ada alasan untuk menolak islam. islamisasi secara struktur adalah menjadikan syariat sebagai dasar negara. sebelumnya telah ada ADE', RAPANG, WARI, BICARA. diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan menjadikan syariat sebagai landasan kelima yaitu SARA'.efeknya adalah dibuatkan jabatan struktural kerajaan yang baru yaitu QADHI, BILAL, KATTE', DOJA sebagai perangkat syiar Islam kerakyat.

 Gowa menentang Bone

Sebaik sahaja Portugis menjalin semula hubungan perdagangan dengan Makassar pada tahun 1559, situasi politik di Sulawesi Selatan mengalami perubahan yang drastik. Gowa, selepas kematian Daeng Matenre, masih meneruskan polisi perluasan kuasanya dan pada masa yang sama Bone di utara turut meluaskan kuasanya. Di Tangka', kedua-dua kerajaan ini bertemu dan pada tahun 1562, tercetusnya peperangan antara Goa dan Bone.
Gowa dibantu oleh Luwu', Wajo' dan Soppeng.Kematian raja Gowa menyebabkan termeterainya perjanjian perdamaian diantara Gowa dan Bone iaitu Perjanjian Caleppa. Mengikut perjanjian itu,Sungai Tangka' dijadikan sempadan antara kedua-dua negeri tersebut. Bone pula diiktiraf sebagai pemerintah di sebelah barat Walennae dan seluruh Cenrana.

 Kemunculan Empayar Makassar

Gowa yang ketika berjaya menguasai tanah pertanian dan persisiran pantai yang strategik turut dikenali sebagai Makassar oleh pedagang-pedagang asing dan bermula pada pertengahan abad ke 16 mula membangunkan aktiviti maritimnya. Negeri ini mendapat sokongan padu dari orang Melayu yang menetap di situ dan juga Portugis juga menetap di negeri itu.
Polisi maritimnya dan dibantu dengan hegemoninya di Sulawesi Selatan menyumbang kepada kekuatan emapayar ini. Makassar ketika itu menghubungkan pelbagai kerajaan di Kepulauan Melayu.

 Kemasukan Islam

Pada pertengahan abad ke 16, persaingan antara Kristian dan Islam semakin sengit di Sulawesi Selatan. Negeri-negeri di sekitar Sulawesi Selatan sudahpun diislamkan. Pada tahun 1575, Abdul Makmur seorang Minangkabau datang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan Islam. Ketika di Kutai, beliau berjaya mengislamkan penduduk di sana. Pada tahun 1580, Sultan Ternate, Babullah meminta agar Manrio Gau, raja Gowa, untuk memeluk Islam kerana Ternate ketika itu bermusuh dengan Portugis.
Persaingan diantara Islam dan Kristian di Makassar disebabkan oleh raja Makassar sendiri yang tidak dapat memilih antara dua agama ini. Maka beliau meminta seorang paderi dari Portugis di Melaka dan seorang ulama dari Acheh. Ulama dari Acheh sampai dahulu di Makassar dan dengan itu raja Makassar membuat keputusan untuk memeluk Islam.
Abdul Makmur (Dato' ri Bandang) kemudiannya melawat semula Makassar bersama dua orang temannya iaitu Sulaiman (Dato' ri Pa'timang) dan Abdul Jawad (Dato' ri Tiro). Pemerintah Luwu' berjaya diislamkan oleh mereka dan memakai gelaran Sultan Muhammad. Kemudiannya Islam tersebar di seluruh Sulawesi Selatan atas jasa ketiga-tiga pendakwah ini.

Penguatkuasaan Syaria

Selepas pengislaman Bugis, Dato' ri Bandang mula menumpukan perhatian kepada penguatkuasaan Syaria. Ajaran-ajaran Islam diserapkan kedalam kebudayaan tempatan dan unusur-unsur tempatan yang menentang ajaran Islam diharamkan. Disetiap negeri, masjid-masjid dibina dan qadi, imam dan khatib dilantik. Golongan bangsawan memainkan peranan yang penting dalam usaha ini.
Manakala, bagi penganut Kristian di Makassar yang kebanyakkannya adalah Portugis, mereka masih dialu-alukan dan dilayan dengan sebaiknya.

 Berakhirnya Persaingan Hegemoni Di Sulawesi Selatan

Diantara akhir abad ke 17 dan permulaan abad ke 19, Sulawesi Selatan mengalami perubahan politik disebabkan oleh kejatuhan Makassar ke tangan Belanda, perbalahan dalaman dan pendedahan kepada kebudayaan barat. Selepas kejatuhan Makassar, orang Bugis kemudiannya bertebaran di seluruh Kepulauan Melayu termasuklah Tanah Melayu.

Kejatuhan Makassar

Pada awal abad ke 17, Makassar mencapai kemuncaknya, pengaruhnya tersebar luas ke suluruh Sulawesi Selatan dan menjadi kuasa maritim yang kuat di kepulauan itu. Manakala jalan perhubungan menjadi semakin penting untuk mereka yang ingin melepaskan diri dari Belanda. Komoditi utama ketika ini ialah rempah-ratus dari Maluku dan ketika ini, Makassar sudahpun memulakan polisi perdagangan bebasnya.
Komuniti Melayu memainkan peranan yang penting dalam pembangunan Makassar. Kebanyakkan kapal-kapal yang singgah di Makassar adalah milik mereka. Pedagang Bugis juga mula memainkan peranan penting. Pada pertangahan abad ke 17, perkahwinan diantara golongan aristokrat Makassar dan Bugis menyumbang kepada perkembangan komuniti Bugis di Gowa. Malahan, persekutuan antara Gowa dan Wajo' membawa kepada perkembangan maritim di Makassar.
Antara faktor yang menyumbang kepada perkembangan Makassar ialah kehadiran Portugis yang lari dari Melaka. Pada tahun 1641, Belanda berjaya menguasai Melaka dan ini menyebabkan Portugis terpaksa menjadi pelarian perang dan mencari perlindungan di Makassar. Mereka mempunyai penempatan sendiri di Makassar di Barobboso dan dilengkapi dengan gereja dan paderi sendiri. Mereka juga hidup secara harmoni dengan penduduk tempatan malah turut membuat usaha sama dengan pedagang-pedagang Makassar. Portugis juga memainkan peranan dalam membekalkan senjata api kepada Makassar dan juga menjadi agen dalam menterjemah tulisan rumi dan ilmu-ilmu barat seperti matematik, arkitek, astronomi dan geografi. Kebanyakan golongan pemerintah Makassar mampu membaca dan menulis di dalam Portugis.
Pada tahun 1613, Syarikat Hindia Timur Inggeris membuka cawangan mereka di sana. Ia diikuti dengan Syarikat Hindia Timur Denmark pada tahun 1618 dan Perancis pada tahun 1622. Pada tahun 1615, Belanda meminta hak monopoli dari Sultan Makassar dan semestinya ia ditolak. Makassar bersama Ternate kemudiannya menyerang Belanda di Maluku dan pada tahun 1634, Makassar dan Ternate menyokong pemberontakkan Ambon. Makassar juga turut menyerang kubu Belanda di Buton. Pada tahun 1660, sebuah kapal Portugis berjaya dimusnahkan oleh Belanda dan ini disebabkan oleh bantuan seorang putera Bone. Arung Palakka.
Selama 20 tahun, Gowa dan Bone bermusuhan sesama sendiri dalam menguasai Sulawesi Selatan dan dimana Gowa menjadi pemenangnya. La Ma'daremmeng (raja Bone) sendiri menjadi tawanan perang apabila Bone jatuh ketangan Gowa. Manakala tampuk pemerintahan Bone digantikan dengan wakil Makassar dan Bone diletakkan sebagai sebuah koloni Makassar. Ini menimbulkan perasaan ketidak puasan hati dikalangan rakyat Bone dan sekaligus mencetuskan perasaan ingin membalas dendam.
Peluang Bone untuk membalas dendam akhirnya terbuka melalui permusuhan Makassar dan Belanda. Manakala di Buton, putera Arung Palakka yang mendapat perlindungan di sana bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Makassar. Pada tahun 1666, Bugis dan Belanda dibantu pasukan tentera dari Ternate, Ambon dan Buton berjaya menguasai Makassar. Serangan dari laut diketuai oleh Belanda manakala dari darat oleh Bugis. Pada 18 November 1667, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bongaya. Di dalam perjanjian ini, Makassar hendaklah memusnahkan semua kubu-kubunya, memberhentikan perdagangan rempah-ratus, memberhentikan impot masuk barang kecuali dari Belanda, menghalua keluar Postugis dari Makassar dan melepaskan mana-mana pertuanan mereka di Sulawesi mahupun di Kepulauan Melayu.

 Situasi Baru Bugis

Bone walaupun memainkan peranan yang terhad dalam perjanjian Bongaya dapat mengekalkan kemerdekaan mereka sehinggalah ke abad 19. Pergerakkan untuk menyatukan negeri-negeri Bugis pula mengalami kebuntuan dengan kehadiran Belanda.
Kesan lain disebabkan kejatuhan Makassar ialah terdapat migrasi Bugis ke Jawa, Sumatra, Tanah Melayu dan juga Siam. Golongan bangsawan Makassar membantu pemberontakkan di Jawa menentang Belanda. Manakala kebanyakkan Bugis dan Makassar berhijrah keluar kerana sumber perdagangan mereka telah diterhadkan. Perantau ini kebanyakkan mula mencari tempat baru di barat Kepulauan Melayu. Mereka berjaya mendapat kedudukan di empayar Johor-Riau dan memainkan peranan yang penting dalam perbalahan diantara sultan-sultan Melayu.


Bugis Dan Pembentukan Indonesia

 Pada 31 Disember 1799, seluruh Indonesia disatukan menjadi menjadi Republik Batavia
Belanda, dimana kesemua urusan politik diletakkan ditangan Belanda sendiri..

Kebangkitan Di Sulawesi Selatan: 1810-1906

Situasi politik di Sulawesi Selatan cukup berbeza dengan di Jawa ketika ini. Walaupun kebanyakkan negeri-negeri Bugis dibawah pengaruh Belanda, tetapi negeri secara praktiknya merdeka. Urusan-urusan dalaman negeri-negeri ini tidak mendapat campur tangan Belanda.
Apabila British menduduki Makassar pada tahun 1810, kebanyakkan pemerintah Bugis enggan mengiktiraf penguasaan British dan ingin merdeka. Pergeseran antara British dan Bugis bertambah teruk apabila pemerintah Bone enggan menyerahkan pedang Sudanga, alat kebesaran Goa yang jatuh ketangannya pada tahun 1785. Maka residen British di Makassar menghantar kapten Phillips untuk suatu ekspidisi ketenteraan melawan Suppa' tapi berjaya dipatahkan oleh tentera Bone. Malahan Bone turut menguasai Utara Sulawesi Selatan sekitar Maros dan sebahagian Bulukumba. Walaupunbegitu, Goa, Soppeng dan Sidenreng berpihak kepada British dalam kebangkitan ini.
Apabila Belanda kembali semula ke Makassar pada 1817, Bone enggan menerima kedudukan Belanda dan memilih untuk merdeka. Pada masa yang sama Gavernor-Jeneral, van der Capellen, datang ke Makassar untuk meminta pemerintah Sulawesi Selatan menandatangani sebuah deklarasi penyekutuan mereka dengan Belanda. Bone, Ternate dan Suppa' enggan berbuat demikian. Ini mencetus peperangan dengan Belanda. Keganasan di Bone berakhir pada tahun 1838 apabila Belanda berjaya menggantikan raja Bone dengan individu yang sekapala dengan tujuan Belanda. Akan tetapi, perang tercetus kembali pada tahun 1857 apabila pengganti beliau , Besse Kajuara, enggan bersekutu dengan Belanda. Ini menyebabkan Bone diletakkan dibawah koloni Belanda daripada sekutu Belanda. Pada tahun berikutnya, Goa menerima nasib yang sama dan menyebabkan konfrontasi yang dipimpin oleh golongan bangsawan.
Kesan kebangkitan paling teruk dirasai di Wajo' dan ini menyebabkan ramai orang Wajo' bermigrasi keluar. Pada masa yang sama, pemerintah Wajo' berbalah sesama sendiri mengenai pewaris bagi Sidenreng dimana La Pang'uriseng berjaya memenangi tampuk pemerintahan Sidenreng. Di bawah pemerintahan beliau, Wajo' mengembangkan kuasanya didalam konfederasi Aja'tappareng dan menguasai kawasan-kawasan yang dibawah kuasa Belanda sekligus mencetuskan penentangan terhadap Belanda. Pare-Pare, sebuah pelabuhan di Wajo' ketika itu mula membangun setelah penyekatan kuasa Bone oleh Belanda dan pada masa yang sama, ia menjadi pusat perdagangan hamba apabila ia diharamkan di Makassar.
Pada tahun 1905, pemerintah Bone, La Pawawoi, buang negeri ke Bandung diatas alasan mencampur tangan urusan negeri-negeri Bugis lain. Pemerintah Goa pula didakwa melakukan keganasan terhadap Belanda (ketika itu Belanda sedang menceroboh Sulawesi Selatan.) Beliau kemudiannya dibunuh ketika cuba untuk melarikan diri dari Belanda.

 Pengkolonian Belanda

Belanda kemudiannya mengabungkankan seluruh Sulawesi Selatan menjadi sebuah koloni yang stabil.
Kesan pengkolonian ini membawa kepada pengenalan cukai di Sulawesi Selatan, buruh paksa dan pendaftaran untuk pengenalan diri. Sistem buruh paksa (digunakan untuk pembinaan jalan) adalah suatu unsur baru dalam kebudayaan Bugis dan menyumbang kepada migrasi Bugis terutamanya golongan bangsawan ke Tanah Melayu dari tahun 1910 hingga 1930.
Ssitem cukai yang diperkenalkan Belanda meliputi cukai tanah dan cukai kepala (untuk lelaki dewasa kecuali golongan bangsawan.) Orang kampung yang kebanyakkannya miskin sering menghadapi kesusahan membayar cukai. Selepas pembayaran cukai, mereka akan menerima surat kampung yang merupakan resit, pengenalan diri dan sijil penetapan. Ini sekaligus menyebabkan tradisi nomad Bugis diharamkan dan penetapan tetap dikuatkuasakan.
Sistem kehakiman baru pula diperkenalkan dengan kehakiman barat diserapkan dalam sistem kehakiman tempatan. Disetiap daerah, sebuah mahkamah dibina dan hakim merupakan orang tempatan mempunyai ilmu tentang kehakiman tempatan dan pada masa yang sama diawasi oleh seorang pegawai Belanda.
Dalam hal ehwal masyarkat, Belanda terpaksa menghadapi tentangan yang bergerak secara senyap dikepalai oleh golongan bangsawan. Sebelum pencerobohan Jepun, tidak banyak gerakan ini berjaya disekat Belanda. Paling membimbangkan Belanda ialah kebangkitan nasionalis di Jawa dan cawangannya di Sulawesi Selatan. Parti Sarikat Islam atau Partai Sarikat Islam,PSI, yang berpusat di Jawa pada tahun 1918 membuka cawangannya di Makassar. Parti ini kemudiannya ditukar nama menjadi Parti Sarikat Islam Indonesia,PSII dan menjadi sebuah pergerakkan nasionalis paling aktif di Indonesia. Cawangan bagi Parti Nasional Indonesia atau Partai Nasional Indonesia yang lebih sekular diasaskan oleh Sukarno turut membuka cawangan di Makassar. Gerakan lain yang lebih bersifat sederhana ialah Persatuan Selebes Selatan dan Muhammadiyah.

Pendudukan Jepun (1942-1945) Dan Asas Pembentukan Indonesia (1945-1950)

Tempoh pendudukan Jepun merupakan suatu titik hitam dalam sejarah Sulawesi Selatan. Walaupun tidak banyak perubahan dalam sistem pemerintahan, tetapi pendudukan telah mencetuskan suatu perubahan dalam minda Indonesia dan Asia umumnya. Orang Eropah yang dilihat berkuasa pada mulanya senang disingkirkan oleh orang Asia dan kesannya menyebabkan penentangan Belanda selepas kekalahan Jepun.
Kekalahan Jepun pada Ogos 1945 memberi peluang kepada Indonesia untuk merdeka. Sebaik sahaja pengumuman kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Mohammad Hatta, Dr Ratulangi dilantik menjadi gabenor di Sulawesi pada 19 Ogos. Pada bulan September, tentera bersekutu Belanda mendarat di Sulawesi akan tetapi tidak menerima tentangan seperti di Jawa. Ini kerana kekurangan teknik serangan gerila oleh penduduk Sulawesi. Kumpulan tentera bersekutu ini turut membawa pegawai Belanda bagi menggantikan Dr Ratulangi.
Kumpulan gerila kemudiannya ditubuhkan dibawah Dr Ratulangi. Serangan gerila ini kemudiannya berjaya dipatahkan Belanda dan pemimpin-pemimpinnya dipenjarakan di Jawa. Ini menyebabkan kumpula gerila di Sulawesi berpecah belah. Bagi golongan-golongan muda, mereka bersatu dengan gerakan gerila di Jawa. Antara mereka ialah Kahar Muzakkar dari Luwu', Andi' Mattalata dan Yusuf.
Pada 17 Ogos 1950, Republik Indonesia ditubuhkan selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.  _  by. M.said Marsuky..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar